Minggu, 26 Oktober 2008

Imperialisme Bukan Sebagai Sajak Historis


Oleh : Andreas

"jika ibu pertiwi menangis hari ini karna melihat nasionalisme yang luntur, saya akan membuat ibu pertiwi bangga dengan nasionalisme bangsa ini"


Terimakasih secara Khusus saya persembahkan untuk Orang tua saya, sahabat, serta kawan-kawan Pers Mahasiswa Indonesia dan tentunya Organisasi yang telah mampu memijarkan saya untuk selalu bersemangat dalam menulis (UKPM CIVITAS Universitas Merdeka Malang).

Jika di tawarkan untuk memilih, maka tidak banyak personal orang yang menentukan pilihanya terhadap negri ini. Cukup prihatin memang jika melihat manusia menghina rumahnya disbanding rumah orang lain. Suatu ketika Dalam olah dunia modern perkembangan selalu diartikan trend dunia yaitu bagaimana manusia di seting menjadi manusia yang kapitalis, uraian ini bersinggungan langsung dengan hakekat manusia untuk menjadi yang terbaik dalam lingkungan masyarakatnya. Maka otomatis untuk mengurai kebutuhan mereka banyak cara yang mendorong mereka memulainya yaitu dengan berpola pikir kapitalis. Pola pikir kapitalis memang tidak selamanya jelek, karna membangun manusia dalam segi motifasi untuk berfikir dan mencari tapi memang terkadang dapat menyesatkan dengan cara-cara yang kurang benar hingga mendorong kesenangan manusia kearah keduniawian. Jika di jaman Karl Marx yang di cari adalah kebenaran, hari ini yang di cari adalah Kebutuhan. Memang sejak perkembangan teknologi, yang diawali sejak manusia itu ada (jaman Nabi atau jaman Prasejarah) kebutuhan manusia adalah bertahan hidup dengan berburu, berpindah-pindah, bercocok tanam, Generasi itu sebenarnya tidak berubah sampai saat ini. Dahulu Negara yang memenangkan peperangan merupakan Negara sentralis yang mana menjadi ajukan para Negara di dunia, jerman, prancis, inggris, unisoviet (unieropa, Rusia Dkk) dan Amerika serikat. Filsufpun banyak terlahir di Negara maju ini. Dari tanah asia hanya jepang yang mampu di sandingkan dengan Negara bersar seperti termaktup diatas. Namun Indonesia tetap menjadi Negara yang tertindas dan sangat sulit disandingkan dengan mereka. Sejak perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan belanda dan jepang, tantangan terberat Indonesia adalah memerangi penjajahan kedua melalui imperealisme Negara Negara maju.
Hegemoni bangsa barat terhadap perkembangan bangsa timur tidak terelakan lagi apalagi medekati pertengahan tahun 80an yang mulai di gelegar dengan masuknya media industry teknologi hingga sampai saat ini pengaruh dunia Cyber sangat mempengaruhi semangat muda dan generasi ini berikutnya. Suara rakyat adalah suara penguasa, gendering reolusi yang dianggab sebagai gerbong memajukan bangsa belum mampu diterima dengan seksama dengan tujuan dan cita-cita memajukan bangsa dan Negara kesatuan republic Indonesia. Kutipan Tan malaka menjadi ajukan makna Revolusi “Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat”. Kutipan itu mampu untuk mendevinisikan bagaimana persoalan nasionalisme di negri ini sangat di pengaruhi oleh rakyat yang masih bangga dan perduli terhadap masa depan bangsa.

Pemikiran bangsa muda


Banyak para pakar Filsafat mengembangkan ilmu dan pemikiran besarnya melalui sebuah pandangan dan pemikiran kritis. Garis besarnya adalah bagai mana manusia memahami makna hidup dan selalu berproses dalam mencari kebenaran yang hakiki dalam hidup seperti Agama, kebudayaan, pandangan hidup. Friedrich Nietzsche, Karl Marx,Saint-Simon, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Aguste comte, Mereka adalah contoh dari pemikir yang mampu mencerahkan dunia dengan berbagai filosofinya. Dan tentunya itu hanya berlaku pada jaman mereka bukan jaman kita, sehingga boleh saya katakan setiap manusia memiliki jaman yang membedakan dan tidak bisa disamakan secara kehidupan tapi belum tentu dengan Logika. Dan andai jaman itu mampu di ubah, yang mampu dan sanggub mengubahnya adalah pemikiran-pemikiran manusia itu sendiri.
Dan di Indonesia pemikiran local banyak yang mulai timbul, sebelum dan sesudah bangsa ini lepas pada dekte penjajahan. Kita bisa mengkutip perkataan soekarno tentang makna kekuasaan “Jadikanlah Deritaku Sebagai Kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng adalah kekuasaan rakyat dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”.
Barang tentu ada yang membanggakan juga ada yang kurang di banggakan hal ini menyangkut kondisi masyarakat yang benar-benar belum mampu untuk selangkah lebih maju. Setengah rakyat Indonesia masih menganggab dirinya rendah di banding bangsa lain hal ini yang kemudian menjadi ajugan bangsa-bangsa tetangga untuk merendahkan martabat masyarakat pribumi.
Seperti halnya kita hidup dijaman yang serba sarat dengan artefak, tanda, dan teks-teks budaya popular atau kita sering menyebutnya budaya yang di mediakan (budaya massa). Tanpa kita sadari budaya terebut merupakan bagian dari kita. Seperti ikan dengan air itulah budaya kita saat ini. Sebagian besar memori, imajinasi, impian masa kecil dan remaja kita sedikit banyak dibangun dengan apa yang kita baca dan kita telaah. Hal ini layak kita sadari sebagai polapikir baru yaitu media sebagai pengalaman bukan sebagai pengetahuan. Layak kita sadari ruang kooknitif manusia hari ini lebih banyak di dapat melalui pengalaman yang bersifat simbolis bukan pengalaman nyata. Contoh dari membaca buku saja kita dapat mempunyai pengalaman imajinasi bukan pengalaman fisik. Hal inilah yang membuat kita hari ini selalu disibukan dengan dunia imajinasi yang akan membuat manusia kuarang memiliki daya kreatifitas fisik.
Tak jarang selain budaya kritis yang kurang bangsa ini di bangun dengan budaya yang sensitive atau mudah tersingung dan pemarah tentunya, tergores sedikit maka akan berbuah panjang.

Bersambung ....



Tidak ada komentar: